Pengetahuan mengenai cara kerja
ventilasi mekanik, mode pengoperasian ventilator yang paling sering digunakan
dan komplikasi yang berhubungan dengan penggunaannya adalah suatu keterampilan
dasar yang harus dikuasai oleh semua klinisi di unit perawatan intensif (ICU).
Setelah ventilasi mekanik diperkenalkan ke dalam praktik klinis, ketertarikan
untuk mengembangkan mode-mode ventilasi terbaru terutama bagi pasien-pasien
dengan gagal napas meningkat dengan pesat. Pendekatan dengan cara ini
berdasarkan persepsi bahwa ventilasi mekanik adalah suatu terapi pada pasien
dengan gagal napas, namun ventilasi mekanik bukanlah suatu terapi.
Pada kenyataannya, penemuan yang
paling signifikan tentang ventilasi mekanik ini, yaitu sejak fakta bahwa teknik
ini dapat merusak paru-paru ditemukan dan secara tidak langsung dapat mengganggu
fungsi dari organ-organ lain.Ventilasi mekanik adalah teknik yang berlawanan
dengan fisiologi ventilasi, yaitu dengan menghasilkan tekanan positif sebagai
pengganti tekanan negatif untuk mengembangkan paru-paru, sehingga tidak mengherankan,
dalam pemakaiannya dapat menimbulkan permasalahan.
Kecenderungan
terbaru saat ini tentang penggunaan volume tidal yang rendah selama ventilasi
mekanik adalah langkah yang benar karena strategi “semakin rendah semakin baik”
adalah yang paling tepat diterapkan pada teknik ventilasi yang berlawanan
dengan proses fisiologi yang normal. Segala sesuatu yang diterapkan dengan
ventilator dapat menyebabkan dampak yang dikehendaki karena ventilasi mekanik
merupakan alat bantu dan bukan modalitas terapi. Sebaliknya, ventilasi mekanik
bias menyebabkan efek negatif yang dapat merugikan pasien. Oleh karena itu,
mode ventilasi yang terbaik adalah yang memiliki efek samping yang paling
rendah saat diterapkan pada pasien.
Deskripsi
tentang ventilasi tekanan positif pertama kali dikemukakan oleh Vesalius sejak
400 tahun yang lalu, namun penerapan konsep tersebut dalam penatalaksanaan
pasien dimulai pada tahun 1955, saat epidemi polio terjadi hampir di seluruh
dunia. Pada saat itu dibutuhkan suatu bentuk bantuan ventilas yang dapat
bertindak sebagai tangki ventilator bertekanan negatif yang dikenal dengan
istilah iron lung.
Di
Swedia, seluruh pusat pendidikan kedokteran tutup, dan seluruh mahasiswanya
bekerja selama 8 jam sehari sebagai human ventilator, yang memompa paru
pada pasien-pasien dengan gangguan ventilasi. Demikian pula di Boston, Amerika
Serikat, Emerson Company berhasil membuat suatu prototipe alat inflasi paru
bertekanan positif yang kemudian digunakan di Massachusetts General Hospital
dan memberikan hasil yang memuaskan dalam waktu singkat. Sejak saat itu,
dimulailah era baru penggunaan ventilasi mekanik bertekanan positif serta ilmu
kedokteran dan perawatan intensif.
a. Ventilasi
Mekanik Konvensional
Ventilator
tekanan positif yang pertama kali ditemukan, bertujuan untuk mengembangkan
paru-paru hingga mencapai tekanan yang diinginkan (preset pressure).
Ventilasi dengan jenis pressure-cycle ini kurang disukai karena volume
inflasi bervariasi sesuai dengan perubahan pada properti mekanik di paru-paru.
Sebaliknya, ventilasi volume-cycled yang dapat mengembangkan paru-paru
sampai volume yang ditentukan awal serta menyalurkan volume alveolar yang
konstan meskipun terjadi perubahan properti mekanik paru-paru, sehingga
ventilasi volume-cycled dijadikan sebagai metode standar pada ventilasi
mekanik tekanan positif.
b. Indikasi
Ventilasi Mekanik
Tindakan
intubasi dan memulai ventilasi mekanik merupakan hal yang rumit untuk
diputuskan. Sebelum melakukan hal tersebut, ada beberapa aturan yang harus
dipahami dengan baik, antara lain:
1.
Indikasi intubasi dan
ventilasi mekanik harus dipertimbangkan dengan baik. Ada kecenderungan untuk
menunda intubasi dan ventilasi mekanik sebisa mungkin dengan harapan hal
tersebut tidak perlu dilakukan. Namun, intubasi yang terencana lebih kurang
bahayanya dibandingkan intubasi emergensi, di samping itu penundaan intubasi
dapat menyebabkan bahaya bagi pasien yang sebenarnya dapat dihindari. Bila
kondisi pasien dinilai cukup parah dan membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik dengan segera, maka jangan menunda untuk melakukan tindakan tersebut.
2.
Intubasi bukan
merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak kompeten untuk
melakukannya. Para perawat cenderung meminta maaf karena mereka telah melakukan
intubasi pada saat mereka bertugas jaga malam, seolah-olah tindakan tersebut
merupakan hal yang tidak mampu mereka lakukan. Justru sebaliknya, intubasi
harus dilakukan dengan pendirian yang kuat dan tak seorang pun yang disalahkan
karena melakukan tindakan penguasaan jalan napas pada pasien yang tidak stabil.
3.
Tindakan untuk memulai
ventilasi mekanik bukan merupakan suatu “gerbang kematian.” Anggapan bahwa
sekali kita menggunakan ventilator maka selamanya akan tergantung pada
ventilator merupakan hal yang tidak benar, yang seharusnya tidak sampai
mempengaruhi keputusan kita untuk memulai ventilasi mekanik. Penggunaan
ventilator tidak menyebabkan seseorang mengalami ketergantungan, kecuali pada
pasien dengan penyakit kardiopulmonal berat dan gangguan neuromuskular.
c. Pengaturan
Ventilasi Mekanik ( Setting)
Parameter
yang harus ditetapkan sangat bervariasi tergantung pada mode ventilasi yang
digunakan. Beberapa parameter tersebut antara lain:
1.
Laju pernapasan (respiratory
rate)
Rentang
laju pernapasan yang digunakan pada ventilator mandatori cukup luas. Hal ini
tergantung pada nilai sasaran ventilasi semenit (minute ventilation)
yang berbeda-beda pada tiap individu maupun kondisi klinis tertentu. Secara
umum, rentang laju pernapasan berkisar antara 4 sampai 20 kali tiap menit dan
pada sebagian besar pasien-pasien yang stabil, berkisar antara 8 sampai 12 kali
tiap menit. Pada pasien dewasa dengan sindroma distres pernapasan akut,
penggunaan volume tidal yang rendah harus diimbangi dengan peningkatan laju
pernapasan sampai 35 kali tiap menit untuk mempertahankan ventilasi semenit
yang adekuat.
2.
Volume tidal
Pada
beberapa kasus, volume tidal harus lebih rendah terutama pada sindroma distres
pernapasan akut. Pada saat mengatur volume tidal pada mode tertentu, perkiraan
kasarnya berkisar antara 5 sampai 8 ml/kg berat badan ideal. Pada pasien dengan
paru-paru normal yang terintubasi karena alasan tertentu, volume tidal yang
digunakan sampai 12 ml/kg berat badan ideal. Volume tidal harus disesuaikan
sehingga dapat mempertahankan tekanan plato di bawah 35 cm H2O.
Tekanan plato ditentukan dengan manuver
menahan napas selama inspirasi yang disebut dengan istlah tekanan alveolar
akhir inspirasi pada pasien-pasien yang direlaksasi. Peningkatan tekanan plato
tidak selalu meningkatkan risiko barotrauma. Risiko tersebut ditentukan oleh
tekanan transalveolar yang merupakan hasil pengurangan antara tekanan alveolar
dengan tekanan pleura.
Pada pasien-pasien dengan edema dinding
dada, distensi abdomen atau asites, komplians dinding dada menurun. Hal ini
menyebabkan tekanan pleura meningkat selama pengembangan paru. Peningkatan tekanan
transalveolar jarang terjadi pada pasien yang memiliki komplians paru yang
normal.
a. Tekanan
inspirasi
Pada
ventilasi tekanan terkontrol (PCV) dan ventilasi pressuresupport,
tekanan inspirasi diatur sedemikian rupa sehingga tekanan plato kurang atau sama
dengan 35 cm H2O. Volume tidal juga harus dipertahankan pada rentang yang telah
ditetapkan sebelumnya.
b. Fraksi
oksigen terinspirasi (FiO2)
Pada sebagian besar kasus, FiO2
harus 100% pada saat pasien diintubasi dan dihubungkan dengan ventilator untuk
pertama kali. Ketika penempatan pipa endotrakea sudah ditetapkan dan pasien
telah distabilisasi, FiO2 harus diturunkan sampai konsentrasi terendah yang
masih dapat mempertahankan saturasi oksigen hemoglobin ,karena konsentrasi
oksigen yang tinggi dapat menyebabkan toksisitas pulmonal.
Tujuan utama ventilasi adalah
mempertahankan nilai saturasi 90 % atau lebih. Kadang-kadang nilai tersebut
bisa berubah, misalnya pada keadaan-keadaan yang membutuhkan suatu proteksi
terhadap paru-paru dari volume tidal, tekanan dan konsentrasi oksigen yang
terlalu besar. Pada keadaan ini, target saturasi oksigen dapat diturunkan
sampai 85% saat faktor faktor yang berperan pada penyaluran oksigen sedang
dioptimalkan.
c. Tekanan
positif akhir ekspirasi (Postive end-expiratory pressure/PEEP)
Sesuai dengan namanya, PEEP
berfungsi untuk mempertahankan tekanan positif jalan napas pada tingkatan
tertentu selama fase ekspirasi. PEEP dibedakan dari tekanan positif jalan napas
kontinyu (continuous positive airway pressure/ CPAP) berdasarkan
saat digunakannya. PEEP hanya digunakan pada fase ekspirasi, sementara CPAP
berlangsung selama siklus respirasi. Penggunaan PEEP selama ventilasi mekanik
memiliki manfaaat yang potensial. Pada gagal napas hipoksemia akut, PEEP
meningkatkan tekanan alveolar rata-rata, meningkatkan area reekspansi
atelektasis dan dapat mendorong cairan dari ruang alveolar menuju interstisial
sehingga memungkinkan alveoli yang sebelumnya tertutup atau terendam cairan,
untuk berperan serta dalam pertukaran gas.
Pada edema kardiopulmonal, PEEP
dapat mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri sehingga
memperbaiki kinerja jantung. Pada gagal napas hiperkapnea yang disebabkan oleh
obstruksi jalan napas, pasien sering mengalami kekurangan waktu untuk ekspirasi
sehingga menimbulkan hiperinflasi dinamik. Hal ini menyebabkan timbulnya auto-
PEEP yaitu tekanan akhir ekspirasi alveolar yang lebih tinggi dari tekanan
atmosfer. Bila didapatkan auto-PEEP, maka dibutuhkan pemicu ventilator (trigger)
berupa tekanan negatif jalan napas yang lebih tinggi dari sensitivitas pemicu
maupun auto-PEEP. Jika pasien tidak mampu mencapainya, maka usaha
inspirasi menjadi sia-sia dan dapat meningkatkan kerja pernapasan (work of
breathing).
Pemberian PEEP dapat mengatasi hal
ini karena dapat mengurangi auto-PEEP dari tekanan negatif total yang
dibutuhkan untuk memicu ventilator. Secara umum, PEEP ditingkatkan secara
bertahap sampai usaha napas pasien dapat memicu ventilator secara konstan
hingga mencapai 85% dari auto-PEEP yang diperkirakan.
a. Sensitivitas
Pemicu (trigger sensitivity)
Sensitivitas
pemicu adalah tekanan negatif yang harus dihasilkan oleh pasien untuk memulai
suatu bantuan napas oleh ventilator. Tekanan ini harus cukup rendah untuk
mengurangi kerja pernapasan, namun juga harus cukup tinggi untuk menghindari
sensitivitas yang berlebihan terhadap usaha napas pasien. Tekanan ini berkisar
antara-1 sampai -2 cmH2O. Pemivu ventilator ini timbul bila aliran napas pasien
menurun 1 sampai 3 l/menit.
b. Laju
aliran (flow rate)
Hal
ini sering dilupakan pada mode yang bersifat volume-target. Laju aliran
ini penting terutama untuk kenyamanan pasien karena mempengaruhi kerja
pernapasan, hiperinflasi dinamik dan auto-PEEP. Pada sebagian besar
ventilator, laju aliran diatur secara langsung. Pada ventilator lainnya,
misalnya Siemen 900 cc, laju aliran ditentukan secara tidak langsung dari laju
pernapasan dan I:E ratio.
Contohnya
adalah sebagai berikut:
Laju
pernapasan = 10
Waktu
siklus respirasi = 6 detik
I:E
ratio = 1:2
Waktu
inspirasi = 2 detik
Waktu
ekspirasi = 4 detik
Volume
tidal = 500 ml
Laju
aliran = volume/ waktu inspirasi
=
500 ml tiap 2 detik
c. Perbandingan
waktu inspirasi terhadap waktu ekspirasi
Sejalan
dengan laju aliran inspirasi, ahli terapi respirasi mengatur I:E ratio tanpa
permintaan dari dokter. Tetapi para klinisi dituntut untuk mengerti tentang
perubahan ini yang dapat mempengaruhi mekanika sistem respirasi dan kenyamanan
pasien. I:E ratio yang umum digunakan adalah 1:2. Pada gagal napas
hipoksemia akut, perbandingan ini dapat meningkat dengan adanya pemanjangan
waktu inspirasi, tekanan jalan napas rata-rata atau alveoli yang terisi cairan
yang dapat memperbaiki oksigenasi. Pada hipoksemia berat, I:E ratio kadang-kadang
terbalik menjadi 2:1, sehingga kewaspadaan harus dipertahankan untuk mengatasi
akibat yang merugikan terhadap hemodinamik dan integritas paru-paru.
0 komentar:
Posting Komentar