Blogroll

Pages

Selasa, 02 Oktober 2012

VENTILASI MEKANIK





Pengetahuan mengenai cara kerja ventilasi mekanik, mode pengoperasian ventilator yang paling sering digunakan dan komplikasi yang berhubungan dengan penggunaannya adalah suatu keterampilan dasar yang harus dikuasai oleh semua klinisi di unit perawatan intensif (ICU). Setelah ventilasi mekanik diperkenalkan ke dalam praktik klinis, ketertarikan untuk mengembangkan mode-mode ventilasi terbaru terutama bagi pasien-pasien dengan gagal napas meningkat dengan pesat. Pendekatan dengan cara ini berdasarkan persepsi bahwa ventilasi mekanik adalah suatu terapi pada pasien dengan gagal napas, namun ventilasi mekanik bukanlah suatu terapi.
Pada kenyataannya, penemuan yang paling signifikan tentang ventilasi mekanik ini, yaitu sejak fakta bahwa teknik ini dapat merusak paru-paru ditemukan dan secara tidak langsung dapat mengganggu fungsi dari organ-organ lain.Ventilasi mekanik adalah teknik yang berlawanan dengan fisiologi ventilasi, yaitu dengan menghasilkan tekanan positif sebagai pengganti tekanan negatif untuk mengembangkan paru-paru, sehingga tidak mengherankan, dalam pemakaiannya dapat menimbulkan permasalahan.
Kecenderungan terbaru saat ini tentang penggunaan volume tidal yang rendah selama ventilasi mekanik adalah langkah yang benar karena strategi “semakin rendah semakin baik” adalah yang paling tepat diterapkan pada teknik ventilasi yang berlawanan dengan proses fisiologi yang normal. Segala sesuatu yang diterapkan dengan ventilator dapat menyebabkan dampak yang dikehendaki karena ventilasi mekanik merupakan alat bantu dan bukan modalitas terapi. Sebaliknya, ventilasi mekanik bias menyebabkan efek negatif yang dapat merugikan pasien. Oleh karena itu, mode ventilasi yang terbaik adalah yang memiliki efek samping yang paling rendah saat diterapkan pada pasien.
Deskripsi tentang ventilasi tekanan positif pertama kali dikemukakan oleh Vesalius sejak 400 tahun yang lalu, namun penerapan konsep tersebut dalam penatalaksanaan pasien dimulai pada tahun 1955, saat epidemi polio terjadi hampir di seluruh dunia. Pada saat itu dibutuhkan suatu bentuk bantuan ventilas yang dapat bertindak sebagai tangki ventilator bertekanan negatif yang dikenal dengan istilah iron lung.
Di Swedia, seluruh pusat pendidikan kedokteran tutup, dan seluruh mahasiswanya bekerja selama 8 jam sehari sebagai human ventilator, yang memompa paru pada pasien-pasien dengan gangguan ventilasi. Demikian pula di Boston, Amerika Serikat, Emerson Company berhasil membuat suatu prototipe alat inflasi paru bertekanan positif yang kemudian digunakan di Massachusetts General Hospital dan memberikan hasil yang memuaskan dalam waktu singkat. Sejak saat itu, dimulailah era baru penggunaan ventilasi mekanik bertekanan positif serta ilmu kedokteran dan perawatan intensif.
a.      Ventilasi Mekanik Konvensional
Ventilator tekanan positif yang pertama kali ditemukan, bertujuan untuk mengembangkan paru-paru hingga mencapai tekanan yang diinginkan (preset pressure). Ventilasi dengan jenis pressure-cycle ini kurang disukai karena volume inflasi bervariasi sesuai dengan perubahan pada properti mekanik di paru-paru. Sebaliknya, ventilasi volume-cycled yang dapat mengembangkan paru-paru sampai volume yang ditentukan awal serta menyalurkan volume alveolar yang konstan meskipun terjadi perubahan properti mekanik paru-paru, sehingga ventilasi volume-cycled dijadikan sebagai metode standar pada ventilasi mekanik tekanan positif.

b.      Indikasi Ventilasi Mekanik
Tindakan intubasi dan memulai ventilasi mekanik merupakan hal yang rumit untuk diputuskan. Sebelum melakukan hal tersebut, ada beberapa aturan yang harus dipahami dengan baik, antara lain:
1.      Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik harus dipertimbangkan dengan baik. Ada kecenderungan untuk menunda intubasi dan ventilasi mekanik sebisa mungkin dengan harapan hal tersebut tidak perlu dilakukan. Namun, intubasi yang terencana lebih kurang bahayanya dibandingkan intubasi emergensi, di samping itu penundaan intubasi dapat menyebabkan bahaya bagi pasien yang sebenarnya dapat dihindari. Bila kondisi pasien dinilai cukup parah dan membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik dengan segera, maka jangan menunda untuk melakukan tindakan tersebut.
2.      Intubasi bukan merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak kompeten untuk melakukannya. Para perawat cenderung meminta maaf karena mereka telah melakukan intubasi pada saat mereka bertugas jaga malam, seolah-olah tindakan tersebut merupakan hal yang tidak mampu mereka lakukan. Justru sebaliknya, intubasi harus dilakukan dengan pendirian yang kuat dan tak seorang pun yang disalahkan karena melakukan tindakan penguasaan jalan napas pada pasien yang tidak stabil.
3.      Tindakan untuk memulai ventilasi mekanik bukan merupakan suatu “gerbang kematian.” Anggapan bahwa sekali kita menggunakan ventilator maka selamanya akan tergantung pada ventilator merupakan hal yang tidak benar, yang seharusnya tidak sampai mempengaruhi keputusan kita untuk memulai ventilasi mekanik. Penggunaan ventilator tidak menyebabkan seseorang mengalami ketergantungan, kecuali pada pasien dengan penyakit kardiopulmonal berat dan gangguan neuromuskular.

c.       Pengaturan Ventilasi Mekanik ( Setting)
Parameter yang harus ditetapkan sangat bervariasi tergantung pada mode ventilasi yang digunakan. Beberapa parameter tersebut antara lain:
1.      Laju pernapasan (respiratory rate)
Rentang laju pernapasan yang digunakan pada ventilator mandatori cukup luas. Hal ini tergantung pada nilai sasaran ventilasi semenit (minute ventilation) yang berbeda-beda pada tiap individu maupun kondisi klinis tertentu. Secara umum, rentang laju pernapasan berkisar antara 4 sampai 20 kali tiap menit dan pada sebagian besar pasien-pasien yang stabil, berkisar antara 8 sampai 12 kali tiap menit. Pada pasien dewasa dengan sindroma distres pernapasan akut, penggunaan volume tidal yang rendah harus diimbangi dengan peningkatan laju pernapasan sampai 35 kali tiap menit untuk mempertahankan ventilasi semenit yang adekuat.
2.      Volume tidal
Pada beberapa kasus, volume tidal harus lebih rendah terutama pada sindroma distres pernapasan akut. Pada saat mengatur volume tidal pada mode tertentu, perkiraan kasarnya berkisar antara 5 sampai 8 ml/kg berat badan ideal. Pada pasien dengan paru-paru normal yang terintubasi karena alasan tertentu, volume tidal yang digunakan sampai 12 ml/kg berat badan ideal. Volume tidal harus disesuaikan sehingga dapat mempertahankan tekanan plato di bawah 35 cm H2O.
Tekanan plato ditentukan dengan manuver menahan napas selama inspirasi yang disebut dengan istlah tekanan alveolar akhir inspirasi pada pasien-pasien yang direlaksasi. Peningkatan tekanan plato tidak selalu meningkatkan risiko barotrauma. Risiko tersebut ditentukan oleh tekanan transalveolar yang merupakan hasil pengurangan antara tekanan alveolar dengan tekanan pleura.

Pada pasien-pasien dengan edema dinding dada, distensi abdomen atau asites, komplians dinding dada menurun. Hal ini menyebabkan tekanan pleura meningkat selama pengembangan paru. Peningkatan tekanan transalveolar jarang terjadi pada pasien yang memiliki komplians paru yang normal.
a.       Tekanan inspirasi
Pada ventilasi tekanan terkontrol (PCV) dan ventilasi pressuresupport, tekanan inspirasi diatur sedemikian rupa sehingga tekanan plato kurang atau sama dengan 35 cm H2O. Volume tidal juga harus dipertahankan pada rentang yang telah ditetapkan sebelumnya.
b.      Fraksi oksigen terinspirasi (FiO2)
Pada sebagian besar kasus, FiO2 harus 100% pada saat pasien diintubasi dan dihubungkan dengan ventilator untuk pertama kali. Ketika penempatan pipa endotrakea sudah ditetapkan dan pasien telah distabilisasi, FiO2 harus diturunkan sampai konsentrasi terendah yang masih dapat mempertahankan saturasi oksigen hemoglobin ,karena konsentrasi oksigen yang tinggi dapat menyebabkan toksisitas pulmonal.
Tujuan utama ventilasi adalah mempertahankan nilai saturasi 90 % atau lebih. Kadang-kadang nilai tersebut bisa berubah, misalnya pada keadaan-keadaan yang membutuhkan suatu proteksi terhadap paru-paru dari volume tidal, tekanan dan konsentrasi oksigen yang terlalu besar. Pada keadaan ini, target saturasi oksigen dapat diturunkan sampai 85% saat faktor faktor yang berperan pada penyaluran oksigen sedang dioptimalkan.


c.       Tekanan positif akhir ekspirasi (Postive end-expiratory pressure/PEEP)
Sesuai dengan namanya, PEEP berfungsi untuk mempertahankan tekanan positif jalan napas pada tingkatan tertentu selama fase ekspirasi. PEEP dibedakan dari tekanan positif jalan napas kontinyu (continuous positive airway pressure/ CPAP) berdasarkan saat digunakannya. PEEP hanya digunakan pada fase ekspirasi, sementara CPAP berlangsung selama siklus respirasi. Penggunaan PEEP selama ventilasi mekanik memiliki manfaaat yang potensial. Pada gagal napas hipoksemia akut, PEEP meningkatkan tekanan alveolar rata-rata, meningkatkan area reekspansi atelektasis dan dapat mendorong cairan dari ruang alveolar menuju interstisial sehingga memungkinkan alveoli yang sebelumnya tertutup atau terendam cairan, untuk berperan serta dalam pertukaran gas.
Pada edema kardiopulmonal, PEEP dapat mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri sehingga memperbaiki kinerja jantung. Pada gagal napas hiperkapnea yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas, pasien sering mengalami kekurangan waktu untuk ekspirasi sehingga menimbulkan hiperinflasi dinamik. Hal ini menyebabkan timbulnya auto- PEEP yaitu tekanan akhir ekspirasi alveolar yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Bila didapatkan auto-PEEP, maka dibutuhkan pemicu ventilator (trigger) berupa tekanan negatif jalan napas yang lebih tinggi dari sensitivitas pemicu maupun auto-PEEP. Jika pasien tidak mampu mencapainya, maka usaha inspirasi menjadi sia-sia dan dapat meningkatkan kerja pernapasan (work of breathing).
Pemberian PEEP dapat mengatasi hal ini karena dapat mengurangi auto-PEEP dari tekanan negatif total yang dibutuhkan untuk memicu ventilator. Secara umum, PEEP ditingkatkan secara bertahap sampai usaha napas pasien dapat memicu ventilator secara konstan hingga mencapai 85% dari auto-PEEP yang diperkirakan.
a.       Sensitivitas Pemicu (trigger sensitivity)
Sensitivitas pemicu adalah tekanan negatif yang harus dihasilkan oleh pasien untuk memulai suatu bantuan napas oleh ventilator. Tekanan ini harus cukup rendah untuk mengurangi kerja pernapasan, namun juga harus cukup tinggi untuk menghindari sensitivitas yang berlebihan terhadap usaha napas pasien. Tekanan ini berkisar antara-1 sampai -2 cmH2O. Pemivu ventilator ini timbul bila aliran napas pasien menurun 1 sampai 3 l/menit.
b.      Laju aliran (flow rate)
Hal ini sering dilupakan pada mode yang bersifat volume-target. Laju aliran ini penting terutama untuk kenyamanan pasien karena mempengaruhi kerja pernapasan, hiperinflasi dinamik dan auto-PEEP. Pada sebagian besar ventilator, laju aliran diatur secara langsung. Pada ventilator lainnya, misalnya Siemen 900 cc, laju aliran ditentukan secara tidak langsung dari laju pernapasan dan I:E ratio.
Contohnya adalah sebagai berikut:
Laju pernapasan = 10
Waktu siklus respirasi = 6 detik
I:E ratio = 1:2
Waktu inspirasi = 2 detik
Waktu ekspirasi = 4 detik
Volume tidal = 500 ml
Laju aliran = volume/ waktu inspirasi = 500 ml tiap 2 detik

c.       Perbandingan waktu inspirasi terhadap waktu ekspirasi
Sejalan dengan laju aliran inspirasi, ahli terapi respirasi mengatur I:E ratio tanpa permintaan dari dokter. Tetapi para klinisi dituntut untuk mengerti tentang perubahan ini yang dapat mempengaruhi mekanika sistem respirasi dan kenyamanan pasien. I:E ratio yang umum digunakan adalah 1:2. Pada gagal napas hipoksemia akut, perbandingan ini dapat meningkat dengan adanya pemanjangan waktu inspirasi, tekanan jalan napas rata-rata atau alveoli yang terisi cairan yang dapat memperbaiki oksigenasi. Pada hipoksemia berat, I:E ratio kadang-kadang terbalik menjadi 2:1, sehingga kewaspadaan harus dipertahankan untuk mengatasi akibat yang merugikan terhadap hemodinamik dan integritas paru-paru.



0 komentar:

Posting Komentar